Dia Alergi

“Kamu suka kan?” Tanya Evan begitu duduk rapi di kursi meja makan menghadap Hesa.

“Iya, suka.”

Evan tersenyum. “Ya, udah. Kasih habis, ya.”

Melihat senyuman senang Evan membuat Hesa tidak tega untuk menolak. Ini pertama kalinya ia melihat Evan tersenyum lebar semenjak bersama dirinya.

Dengan ragu Hesa memasukan makanan itu ke dalam mulutnya. Berusaha mengabaikan rasa takutnya pada makanan terkutuk itu.

Pandangan matanya bergerak ke depan. Melihat bagaimana Evan dengan lahap memakan makanannya.

“Suka banget, ya?” Tanya Hesa.

“Banget! Aku kalo jalan berdua sama abang kamu selalu mampir makan ini. Abang kamu juga suka.” Cerita Evan dengan keantusiasannya. “Kamu suka juga kan?”

Hesa tersenyum, “Suka, dong. Ini aku makan lahap. Masakan kamu enak.”

“Hehe, makasih, Hesa.”

Jantung Hesa berdetak cepat dari biasanya. Badannya merinding dalam sekejap. Hesa sudah pernah merasakan ini. Tapi tetap saja ia tidak tahan dengan rasa panas di tubuhnya juga rasa sakitnya kepala.

Tangan sebelahnya yang awal mula berada di atas meja makan bergerak lemas ke bawah. Bertumpu di atas pahanya. Dengan menahan sakit Hesa meremas celana hitamnya itu.

Nafasnya sedikit terasa memburu. Namun sebisa mungkin untuk ia sembunyikan itu semua. Ia tidak ingin senyuman indah bagai lukisan itu luntur begitu saja hanya karena dirinya.

Hesa juga ingin membuat Evan senang seperti ini. Hesa ingin Evan seperti saat bersama Heza, abangnya.

“Siniin piringnya. Biar aku cuci.” Evan berdiri dari duduknya setelah mereka berdua selesai menghabiskan makanan itu.

Hesa memberikan piringnya kepada Evan. Setelah Evan pergi sedikit menjauh untuk mencuci piring, jantung Hesa semakin berdetak cepat. Kulit tangannya memerah.

Hesa berdiri, menghampiri Evan. Memeluk pacarnya yang berbadan kecil itu dari belakang. Menumpukan kepala lemasnya di atas bahu kokoh Evan. Tangannya melingkar di perut Evan.

“Bay,”

“Iya?”

“Aku pamit pulang, ya? Nevan minta temenin ke bengkel. Bengkel bokapnya lagi sibuk, jadi aku bantu-bantu di sana.”

“Sekarang?”

“Iya, bay. Gapapa kan? Kalo kamu mau aku masih di sini gapapa. Aku bilang aja ke Nevan.”

“Enggak usah. Kamu pergi aja. Siapa tau dia lagi butuh kamu banget.”

Hesa mendekatkan kepalanya ke leher Evan, “Kamu enggak marah kan?”

“Enggak, sayang. Habis ini aku mau tidur jugaaa.”

Hesa tersenyum tipis di belakang sana. Bibirnya mengecup leher mulus Evan, “Ya, udah. Aku pergi, ya. Kamu tidur nyenyak. Nanti kalo enggak bisa tidur telpon aja.”

“Iyaaaa. Hati-hati, esa.”

Hesa bohong. Nevan tidak ada menyuruhnya ke bengkel. Ia sudah benar-benar tidak tahan dengan badannya itu.

Setelah berhasil keluar dari rumah Evan, Hesa berjalan gontai. Sesekali berhenti untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir saja jatuh.

Dengan perlahan ia berjalan ke motor miliknya di depan sana.

“Sa,”

Itu Nevan. Cowok itu berdiri sedikit bersandar pada motor milik Hesa dengan tangan yang terlipat di depan dada bidangnya.

“Pan? Itu elo ato gue yang berhalusinasi kayak orang gila begini?”

“Iya, ini gue.”

“Ngapain lo ke sini?”

Nevan menghela nafas. Ia sudah menunggu di depan rumah Evan semenjak Hesa memberitahu jika sahabat karibnya itu hendak memakan makanan terkutuk. Takut terjadi hal yang tidak ia inginkan. Tentu ia tidak tenang dengan pikirannya.

“Lo mau bawa motor kayak gitu? Yang ada belum jalan lo udah jato cium aspal panas.”

Hesa tersenyum. Evan mendekatinya. membantu menopang tubuh Hesa agar bisa berjalan ke arah motor.

“Lo ke sini naik apa, Pan?”

“Gojek. Ini lo gue bonceng pake motor lo. Kalo lo udah enggak tahan bilang ya, anjing.”

“Iya, anying. Makasih.”

“Ya, sama-sama. Tapi lo tetep tolol.”

“Tai.”