“Hai?” Sapa Mario dengan tambahan senyum tampannya yang sudah biasa dilihat Harien tapi masih mampu membuatnya jatuh cinta, lagi.

“Ya. Masuk aja sini, ada nyokap kok,” Suruh Harien, masih sedikit menormalkan degupan jantungnya.

“Enggak. Gue cuma sebentar aja. Mau kasih ini sama seutas kalimat yang udah gue buat di kamar mandi tadi subuh,” Ujar Mario sembari menaikan sedikit tangannya untuk memperlihatkan keresek putih berisi sebungkus roti bakar bandung yang dia beli tadi.

Harien mengernyitkan dahinya bingung. Alisnya nyaris menjadi satu setelah mendengar ujaran Mario yang membuatnya kehilangan akal, “Hah?”

“Nih, ambil dulu,” Mario memberikan keresek itu pada Harien. Setelah diterimanya, Mario kembali melanjutkan kata yang ia bilang seutas kalimat yang sudah dibuat di kamar mandi itu.

“Roti bakar bandung yang gue beli ini jadi saksi kalau kita mulai pacaran.”

Itu, seutas kalimat yang dimaksudnya. Membingungkan namun mampu membuat Harien berdiri kaku dengan menenteng tas keresek putih tadi yang diberikan.

“Gue pulang dulu, ya? Udah mau maghrib. Titip salam buat bunda lo, ya. Kalau ditanya dari siapa, bilang aja dari pacar baru, bun. Anaknya cakep, hobi berantem, tapi baik.” Ucapnya.

Lalu tangan kanannya terjulur ke depan badan Harien.

“Buat apa?”

“Buat bukti kalau sore ini kita udah satu hati.”

Batin Harien berteriak, bangsat! Tapi ia tetap menggapai tangan Mario untuk berjabat tangan. Mario menggenggam tangannya erat dan ibu jari itu mengelus punggung tangannya sembari tatapan elang itu menatap dirinya dengan tulus.

“Udah jabatannya. Kasian nanti gue,”

“Kenapa kasian?”

“Ya, kasian, lah. Mana tahan gue genggaman tangan mulu sama pacar. Yang ada hati gue tukeran tempat sama otak.”

“Anjing lo.”

Mario tertawa pelan. Pelan tapi meleburkan hati Harien.

“Udah, ah. Enggak pulang-pulang gue. Nanti kalau ditanya sama bunda gue kenapa telat pulang, mau tau enggak gue jawab apa?”

Harien yang masih heran hanya menjawab Mario sekadarnya aja, “Apa?”

“Maaf, bun. Tadi keasikan liatin pacar baru. Jadi telat, deh pulangnya,”

“Bang,” Panggil Harien.

“Kenapa?”

“Lo jadi pulang apa enggak?”

“Iya-iya ini beneran. Dimakan, ya, roti bakar bandungnya. Gue pulang sekarang. Love you, Bear.” Pamit Mario setelah mengusak rambut milik Harien.

Sore itu, seutas kalimat telah terlontarkan dan sebungkus roti bakar bandung telah diterima.

Yang berarti, Harien sudah menjadi milik Mario sepenuhnya.