Harien masih tidak habis pikir jika awal semasa sekolah di tempat baru akan menjadi seburuk ini. Ia pindah karena ingin sedikit berubah. Tapi tetap saja. Ia tetap terlibat pergaulan buruk seperti ini. Jika dirinya terseret bimbingan konseling, sudah dipastikan ia akan membawa nama Mario. Tidak mau tau!

“Sayang,” Panggil Mario dari jauh setelah beradu tatap dengan manik Harien.

Hanya suara decakan dan putaran bola mata malas yang membalas sapaan pagi Mario.

“Jawab, dong. Sombong amat jadi cowok. Untung cakep,”

“Iya, gue emang cakep. Makasih,”

“Enggak usah makasih. Pacar gue emang selalu cakep tanpa perlu diingatkan.”

Harien menendang tulang kering Mario dengan tenaga dalam, “Gue bukan pacar lu.”

“Iya, habis ini kita pacaran.”

Suara teriakan bergemuruh menghambat balasan Harien pada Mario. Mereka semua memusatkan pandangan pada segerombolan siswa di sana yang datang tidak dengan tangan kosong.

Harien mengernyitkan dahinya. Mereka terlalu pengecut hanya untuk berduel tangan.

“Kalau kalian udah mulai dengar suara sirene polisi atau apapun itu, langsung mundur. Redakan emosi kalian,” Mario berujar serius. Wajah tegasnya sangat berbeda dari keseharian yang Harien liat. Mario sisi ini tampak lebih .... sempurna.

RJWALI mulai bergerak. Mengenggam senjata mereka dengan erat seakan tidak akan terlepas lagi. Mario dan Harien bergerak paling akhir. Mereka diam, Mario tidak bercanda lagi seperti tadi.

“Mar?”

“Hm?”

“Fuck,” Jangan suara itu, Mar. Tolong ingat, satu pemuda ini masih denial dengan rasanya sendiri.

“Kenapa, Har?”

“Lo enggak bawa senjata?”

“Enggak,”

“Kenapa?”

“Lo. Lo enggak bawa senjata. Jadi gue juga enggak bawa. Tapi lo tetap di samping gue, ya?” Mario menatap khawatir Harien.

Tidak bisa berbuat banyak, Harien hanya menganggukkan kepalanya.

“Gue cuma enggak mau lo luka sedikitpun biar luka kecil. Biarkan gue ngelindungi lo untuk yang pertama kalinya, Harien.”

Mario sialan. Pemuda yang denial tadi sekarang tidak lagi. Rasa kosong sekarang mulai tergantikan dengan warna rona merana yang berada di sekeliling hatinya. Harien jatuh, pada Mario Putra Adente.


Baju Harien sudah kusut. Penuh dengan darah. Ia berhasil melumpuhkan beberapa siswa dari sekolah Nusantara.

Suara sirene berbunyi. Cukup lama suara yang dinantikan Harien itu berbunyi. Dengan terburu-buru, mereka semua bubar. Tidak menyisakan apapun selain darah di atas aspal.

Murid dari sekolah Gajah Mada keluar dari kelas melihat pergelutan panas di depan sekolah mereka. Juga guru-guru yang sibuk sekaligus panik saat melihat baju dengan logo Gajah Mada terpampang jelas di sana yang sedang tauran.

RJWALI kembali dengan lengkap.

Air muka Mario tampak panik setelah menemukan Harien dengan noda darah di baju kaos putihnya.

“Lo kena? Bagian mananya? Anjinglah! Goblok banget gue, bangsat!” Seru Mario panik dan menyalakan dirinya sendiri.

Chill, Mar. Ini bukan darah gue,” Ucap Harien menenangkan Mario.

Masih dengan kepanikannya, Mario menggapai kedua tangan Harien. menggenggamnya dengan erat, “Bener?” Tanyanya mendapat anggukan dari Harien.

Mario menghela nafas. Dengan cekat ia memeluk tubuh Harien. Mengelus punggung cowok itu dengan pelan. Degup jantungnya masih berpacu cepat setelah melihat darah di kaos Harien tadi.

“Makasih,” Bisik Harien tepat di samping telinga Mario. Makasih udah buat gue jatuh, Mar.