My Boy
Mereka semua sudah berkumpul di satu meja besar. Suasana cafe kecil ini lumayan ramai. Di tambah ricuh Raka dan Lino yang sedari tadi tidak berhenti merocos. Dua cowok itu jika dipertemukan, dunia terasa semakin ramai.
Barata duduk di samping Nanda. Mereka duduknya berdempetan sekali. Padahal, masih ada sisa kosong di samping keduanya. Awal, Barata duduk sedikit menjauh dari Nanda. Tetapi Nanda kian menarik pinggangnya agar tetap berdempetan.
“Ada yang bawa rokok gak?” Tanya Nanda kepada mereka semua. Ia hanya membawa korek, tidak dengan rokok.
“Lo ada korek tapi gak ada rokok,” Sahut Bagas yang duduk di pojokan, melempar sebungkus rokok berwarna putih dengan logo A di tengahnya.
“Thanks,”
Nanda menyalakan rokoknya. Menghisap ujung batang rokok itu. Hembusan pertama ia keluarkan. Asap putih itu terbang terbawa angin.
Kepalanya menoleh melihat paras Barata dari samping. Melamati wajah kelewat sempurna itu dengan sasakma. Tangannya bergerak mengelus telinga mungil Barata, mulai berjalan menuju lehernya.
“Kenapa?” Barata menyadari Nanda, menoleh menatap balik.
“Gapapa,”
Nanda mengisap rokoknya lagi, sedangkan Barata kembali beralih berbicara bersama Janu yang berada di samping kanannya. Jujur, Nanda sedikit cemburu.
Tidak peduli Barata marah, Nanda menarik pinggang Barata dengan posesif. Lebih menempelkan badannya dengan badan Barata. Tidak hanya sampai di situ. Tangan kekarnya memasuki baju Barata, mengelus perut Barata.
“Ngapain, anjing?” Barata berseru pelan kepada Nanda. Tangannya menahan pergerakan tangan Nanda yang kian naik.
“Dingin,”
“Ya, lo kira perut gue pemanas?”
“Badan kamu pemanas,”
Nanda memeluk Barata dari samping. Badan mereka benar-benar menempel. Sesekali Nanda mencium leher Barata, tidak lupa juga ia menjilat kulit mulus itu.
Barata membatin, “Ini masih di tempat umum, Nanda, bangsat.”
Rokok yang berada di antara kedua jarinya masih tertera. Sesekali ia hisap, setelah menghembuskan asapnya, ia kembali menggelamkan kepalanya di dalam leher hangat Barata.
“Pacarannya kagak tau tempat, ya, bosss,” Seru Lino.
Sagara tertawa, “Udah intim banget itu, tinggal ciuman aja,”
“Paraaaah Sagara,” Maratama menyaut.
Nanda tidak memperdulikan mereka, ia fokus memeluk dunianya dengan erat.
“Nipple kamu kayaknya enak,” Bisik Nanda di telinga Barata, ujung bibirnya naik sedikit menggoda Barata.
“Can you just shut up?”
Nanda terkekeh pelan dengan suara beratnya, “Take it easy, sweetie.”