Saking asiknnya bertukar pesan dengan Rendro-teman satu-satunya sedari SMP, Harien tidak menyadari adanya sedikit keributan kecil di bawah. Suara lembut milik sang Bunda yang dipadukan dengan suara berat seorang lelaki.
Jika Bunda tidak meneriaki namanya, Harien tidak akan beralih dari ponselnya itu. “Iya, Bunda, sebentar.”
“Kamu tunggu sebentar, ya, nak. Emang gitu anaknya. Kalau udah di ajak jalan, persiapannya lama.” Bunda berterus terang dengan Mario.
“Iya, enggak apa-apa, Bunda.” Mario tersenyum. Sekitar dua menit yang lalu Mario sudah sampai setelah membuat perjanjian jika ia akan mengajak sang kekasih jalan layaknya kegiatan yang sering dilakukan oleh orang pacaran pada umumnya.
“Ini, minum dulu sebentar teh angetnya,” “Iya, Bunda, makasih.”
Perut Mario terasa hangat setelah minum seteguk teh hangat buatan Bunda. Asik Mario dengan teh enak itu, Bunda Harien mulai membuka suara lagi. Menceritakan kelakuan Harien semasa SMP dulu.
“Dulu, waktu Harien masih SMP, anaknya tengil. Guru-guru di Sekolah aja nyebut Harien itu siswa tengil. Bunda dulu sampai hafal siapa-siapa aja nama guru bimbingan konseling di Sekolah Harien,”
Mario mulai masuk ke dalam cerita Bunda, “Kenapa, Bun?”
“Bunda sering sekali dipanggil ke Sekolah karna kenakalan Harien. Sampai sekarang Bunda masih heran kenapa anak tunggal Bunda itu nakal sekali. Mungkin tingkat kenakalannya melebihi nakal Leonardo waktu masih muda.” Bunda juga Mario tertawa kecil bersamaan.
“Kasus terakhir yang buat Harien dikeluarkan itu, dia ada bentrokan sama Sekolah lain. Bunda enggak marah dia ikut tawuran kayak begitu, tapi Bunda cuma takut aja kalau anak Bunda satu-satunya itu pergi jauh.”
Mario serius mendengar tuturan Bunda, teh yang tadi hangat saat disajikan telah menjadi dingin. Fokusnya hanya pada cerita panjang yang diceritakan oleh Bunda. Nakalnya dulu Harien bagaimana, kelakuan Harien semasa remaja awal dulu Bagaimana.
Bunda berbagi banyak cerita dengan Mario. Terakhir, wanita paruh baya itu menunjukan secarik kertas yang tertuliskan data kriminal milik Harien. Mario tentu terkejut, pacarnya juga mempunyai hal yang sama dengan dirinya.
“Ini kasus-kasus yang pernah Harien dapatin. Selain ini, anak itu masih banyak kasusnya, tapi enggak tertangkap polisi aja.”
“Ini kapan aja, Bunda?” “Awal mulai masuk SMP.”
Suara ribut dari atas hingga berjalan di tangga terdengar. Mario dan Bunda menolehkan arah pandangan mereka ke sumber suara berisik itu. Mereka lihat Harien dengan wajah panik menuruni tangga. Mario menundukkan kepalanya guna meredam suara tawa setelah melihat ekspresi konyol dari Harien.
“Kamu kebiasaan, Harien. Kasian pacar kamu nungguin dari tadi.” Bunda berdiri dari duduknya, menghampiri Harien yang tersenyum kaku mengakui kesalahannya. Bunda menjewer pelan telinga mungil Harien. “Udah sana pacaran.”
Harien memanyunkan bibirnya sedikit. Tangannya bergerak menyalimi tangan lembut milik Bunda, “Iya, Bunda. Aku pergi dulu.” Mario ikut bersalim tangan dengan Bunda. Pamit sekaligus meminta izin untuk membawa Harien pergi sebentar.
“Kalau enggak pulang ke Rumah kabarin Bunda, ya, Harien,” “Iya, Bunda.”
“Bunda cerita apa aja sama lo?” Tanya Harien begitu pintu rumah tertutup rapat.
“Kepo,” Seru Mario seraya menoyor jidat Harien pelan yang membuat sang empu berdecak kesal.
“Bunda enggak ngomong macem-macem kan?”
“Macem-macem gimana? Coba kasih satu contoh,”
“Apaan, dih. Dikira pelajaran Indonesia pake contoh-contoh segala.”
“Ya, udah. Enggak usah kepo makannya.”
Mario memakaikan Harien helm tanpa lagi meminta persetujuan dari cowok di hadapannya itu. Tidak lupa ia mengancingkan helmnya. Sedikit jail, Mario menepuk bagian atas helm yang membuat Harien berdecak kesal lagi.
“Lo pake apa? Ini kan helm lo punya,”
“Lo ada helm lagi enggak?”
Harien menggeleng kecil dengan alis terangkat sedikit. Harien dengan helm besar ini membuatnya sedikit terlihat kecil.
“Ya, udah, pake punya gue aja.”
“Lo enggak pake, dong?”
“Yang penting lo selamat di jalan, Har.”
“Mar!” Seru Harien memanggil dengan suara tinggi berusaha melawan suara angin dan kendaraan yang bising.
“Kenapa, yang?”
“Kita beneran pacaran di pasar?”
“Iya, biar ada temen cari ikan.”