Their First Kiss

“Kenapa ngeliat gue mulu dah, anying?” Tanya Harien yang akhirnya membuka suara karena risih sedari tadi ditatap oleh Mario.

“Enggak boleh emang?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Risih,”

Mario mengangguk paham. Pandangannya kembali menghadap ke layar kacar itu. Sekarang, mereka sedang duduk berdampingan. Sangat dekat sekali. Seperti buta tuli dengan apa itu jarak.

“Mar,” Bukannya menyaut, Mario malah tertawa pelan mendengar panggilan Harien padanya, “Lo ketawa?”

“Tumbenan banget, nih, ada orang yang manggil gue Mar. Biasanya pada panggil Yo,”

“Ya udah, gue panggil Yo aja,”

“Jangan, biar terasa spesial, khusus lo aja panggil gue Mar.”

“Gila,” Mario tertawa lagi, kali ini cukup keras, “Lo mau ngomong apa tadi?”

“Oh, iya. Tentang tadi pagi. Last email yang lo kirim,”

Mario mendongakkan kepalanya. Tampak berpikir. Sedetik kemudian, ia tersadar, “Iya, iya inget. Kenapa?”

“Maksudnya apa?”

“Ya ... gue suka lo.”

“Serius?”

“Duarius malah,”

“Tapi, kita baru ketemu,”

“Lama waktu emang nentuin kapan perasaan gue udah jatuh ke lo? Enggak, 'kan? Jangan mikir kalo gue cuma main-main. Gue serius sama perkataan gue, Har.”

“Gue suka lo. Dari awal kita ketemu di twitter, gue mulai liat foto profile lo, foto-foto yang pernah lo tweet. Gue liat semuanya.”

Harien menatap Mario tidak percaya. Ia cukup menaruh curiga pada cowok itu yang tiba-tiba saja bilang jika ia menyukai dirinya. Bahkan, mereka baru saja bertemu. Tidak sampai menginjak waktu satu minggu.

Mario sudah gila, pikir Harien.

“Jadi?”

Pertanyaan Mario mengundang kerutan dahi Harien.

“Jawab pertanyaan gue yang tadi pagi.”

“Kasih waktu. Gue baru kenal lo. Bahkan kita belum ada ketemu dua minggu. Lo aja yang kelewat gila.”

Panjang kalimat Harien menghardik sarkas Mario. Sepertinya, mulai sekarang Mario akan membiasakan dirinya dengan ujaran-ujaran kasar dari Harien.

“Iya, gue bakal tunggu.”

“Tapi, Har. Tau gak?”

“Apaan?”

“Bibir gue kering, mungkin sedikit ciuman dari kita bisa buat bibir gue lembab.”

Harien mendelik kaget, “Apaan, anjing?! Lo mabuk?”

“Kagak, lah, bego!” Mario menjitak kepala Harien dengan keras.

Mendengar aduan kesakitan dari Harien, Mario tersenyum. Dengan lancar, tangannya bergerak menarik tengkuk belakang Harien. Mendekatkan wajah itu pada wajahnya. Kedua bibir mereka saling bersentuhan.

Mario memulainya, ia melumat bibir tebal itu. Bak musafir yang mampu melembutkan ciuman kasar mereka.

Lumatan bibir mereka mampu melembutkan rasa kasar yang tercipta dari bibir kering Mario. Tangan kekar Mario mengelus kepala Harien. Ibu jarinya mengusap kepala itu dengan lembut.

Harien hanya diam. Tidak berkutik. Lebih tepatnya, tidak bisa. Badannya kaku, namun pikirannya bekerja sama dengan mulutnya yang sekarang ini sedang beradu lidah dengan kepunyaan Mario.

Game di layar kaca sudah tidak terurus. Dua stick PS dianggurkan begitu saja. Dalam gelap gulita, dua adam ciptaan Tuhan sedang bersenandung lembut dalam lumatan bibir.