gurlaes

“Apa kamu bilang?” Suara wanita yang dipanggil mama oleh Arka bersuara.

“Marvin pacar aku.” Tegasnya tanpa peduli lagi dengan perasaan wanita di hadapannya itu.

Panggil saja wanita paruh baya itu, Hana.

Hana mendekati Arka, berhenti di hadapan sang anak dengan menampilkan ekspresi yang tidak bisa terbacakan. Antara kecewa, sedih, marah. Semua menjadi satu dalam sebuah emosi.

“Kamu cowok, Arka. COWOK!” Teriak Hana.

Arka yang mendengar teriakan itu tertohok. Satu kata dengan suara keras yang mampu menusuk hatinya. Sebuah fakta yang memang harus ia ketahui.

Arka itu cowok. Gender Arka pria. Sangat tidak resmi untuk berhubung kasih dengan gender yang sama. Tapi, bagaimana jika cinta itu buta akan segala hal?

Dia sudah sangat mencintai Marvin, tidak bisa digugat lagi. Rasa cinta yang timbul itu membuatnya benar-benar buta. Arka tidak lagi bisa melihat ke arah jalan yang lurus.

“Ini tentang perasaan aku, Mah.”

“Sadar, Arka. Kamu itu sekelamin sama dia. Kalian sama-sama cowok.”

“Iya, aku tau kami sama-sama cowok. Tapi ini rasa cinta aku, Mah. Aku lagi jatuh cinta. Jatuh cinta di arah yang salah. Jadi, tolong... tolong pahami...”

Arka tidak sanggup berbicara lagi. Hatinya sesak, sesak sekali. Tatapannya sayu menatap ke arah Hana.

“Tidak bisa. Putuskan hubungan kalian. Mama menolak.”

Tidak. Hubungan mereka tidak boleh ada yang menolak, terkecuali semesta. Cowok itu menatap Hana dengan nalang. Tidak ada rasa putus asa yang terpancarkan dalam pandangannya. Arka masih ingin bertahan, Arka masih ingin berharap lebih.

“Jangan malu-maluin keluarga kita, Arka.”

“Jangan pernah jadi aib keluarga. Jauhi cowok itu demi keluarga kita. Ambil jalan yang benar, Arka. Kamu anak mama sama ayah, jangan berbelok seperti ini.” Kata Hana tanpa tau lagi bagaimana bentuk hati anaknya.

Arka terdiam seribu bahasa. Kepalanya menunduk, menatap lantai polos itu dengan sayu. Ia harus berbicara apa lagi? Dirinya harus seperti apa lagi agar cinta mereka diterima?

“Arka…” Panggil Abraham, Ayahnya. “Cukup, ya? Kamu hebat. Tapi, perjuangan kamu sudah cukup sampai disini, nak. Ayok pulang.” Lanjutnya.

Mendengar kalimat itu dengan suara lembut milik Abraham, Arka menangis. Air matanya berderai. “Gak. Mimpi aku masih belum terwujud.”

Arka berlari keluar dari rumah, meninggalkan kedua orang tuanya disana. Mengabaikan dua hati yang sedang kecewa terhadapnya. Arka ingin menemui Marvin.

Diluar hujan, Arka sedikit merasa tenang. Dengan langkah berat, Arka berjalan keluar dari perkarangan rumahnya. Berharap ada satu insan yang ingin ia temui menunggu di luar.

Dan, benar. Cowok itu disana, sedang menatap dirinya.

Arka berjalan sedikit cepat, mendekati Marvin. Pandangannya menatap Marvin seolah berujar “genggam tangan gue, bawa gue kepelukan lo.”

Rintik hujan menjadi satu dengan air mata Arka. Di bawah hujan, mereka berpelukan. Di bawah hujan, mereka saling menautkan jari berbagi rasa hangat. Keduanya sedang mengobati luka.

“Gue harus gimana lagi, Marv?” Tanya Arka, hampir putus asa.

Ia kira, kisah mereka itu indah. Namun ternyata, semua hanya mimpi yang berkhayal dalam benaknya. Mimpi menjalin kasih yang sempurna.

“Masih kuat bertahan, 'kan?” Tanya balik Marvin, kedua tangannya menggenggam dua tangan Arka. “Selangkah lagi kita bisa, Ka.”

Arka menggeleng. Perkataan Hana dan Abraham kembali berputar, “Mama sama Ayah kecewa. Gue salah, ya, kalo minta kisah kita berakhir bahagia?”

Marvin menggelengkan kepalanya, menolak jawaban Arka. Ia tersenyum, menatap dua mata Arka dengan lembut. Mengusap tangan kekasihnya itu dengan sayang.

“Gue percaya kalo ada kisah yang berakhir bahagia, kita bisakan kayak gitu?” Tanya Arka, lagi.

Marvin masih tidak bisa menjawab. Ia hanya mampu memberikan senyuman tulus untuk menjawab pertanyaann-pertanyaan Arka.

Banyaknya janji yang mereka buat, tapi sayang, mereka tidak mampu. Rasanya sangat menyakitkan dan melelahkan hanya untuk berjuang dan bertahan. Mereka tidak mampu juga tidak sanggup.

Cerita tentang mereka itu aneh. Takdir yang menyatukan, tapi semesta yang memisahkan.

“Udahan, ya?” Marvin bersuara. Arka menatap terkejut.

“Cukup sampai disini, udah banyak yang menolak kita, Ka.”

Arka meninju rahang Marvin, tidak peduli jika cowok itu kesakitan.

“Jangan ngomong seenaknya, anjing! Jangan bohongi perasaan lo. Kita masih bisa bertahan.” Teriak Arka padanya, “Kita masih belum nyerah, jadi tolong, ayok berjuang lagi…” Lirihnya berujar.

“Mau gimana lagi, Ka? Udah gak ada jalan selain menyerah!”

“Lo gak mau buat rumah untuk gue? Lo gak mau berusaha buat keluarga untuk kita?”

Marvin tertawa, “Buat rumah? Udah mustahil gue hidup sama lo. Tapi, satu hal yang harus lo tanam dalam pikiran terdalam. Gue tetap cinta sama lo, gue tetap sayang sama lo. Perasaan gue gak akan pernah berubah sampai kapanpun.”

“Lo tempat terindah bagi gue, lo tempat ternyaman untuk gue berteduh.” Ujar Marvin, “Tapi, kita tetap gak bisa bersama. Lo sama gue itu sama. Kita satu agama tapi satu gender. Kita gak akan pernah bisa bersama, Arka!” Lanjutnya.

Omongan Marvin sama persis dengan Hana, Arka tersenyum pedih. Hatinya sesak mendengar itu. Mana Marvin yang dulu bilang akan bertahan bersamanya? Mana cowok yang bersumpah akan membuatkannya kisah yang indah?

Satu kebenaran yang terkuak; mereka saling cinta namun tidak bisa saling memiliki.

Ini tentang mereka, Mereka yang terlanjur saling cinta meski tau jika tidak akan bisa saling memiliki.

Arka terkekeh, ia tidak pernah terbayang jika cerita mereka akan menjadi sepilu ini, semua rangkai waktu yang mereka lalui bersama akan sirna jika mereka berhenti bertahan disini.

Seribu satu cara mereka bertahan dan berjuang hanya untuk mendapatkan jawaban indah dari kisah mereka diakhir. Bila memang ini ujungnya, mau bagaimana lagi? Jikalau mereka berpisah, mungkin Arka akan menjadi kenangan terindah dalam hidup Marvin.

Semesta tidak pernah berpihak pada mereka.

“Terus kalo kita segender emang kenapa? Lo mau berhenti sekarang?” Arka semakin mendekati Marvin, menatap cowok itu dengan marah, “Lo udah gak ada rasa sayang sama gue semenjak pergi kuliah di luar?”

Marvin menunduk, “Maaf, gue masih sayang sama lo. Maaf,”

“Dari sini gue gak tau akan diberi berapa lama waktu lagi sama semesta. Jadi, ayok hargai kebersamaan kita dalam tiap detik, ya?” Ucap Marvin pada akhirnya.

Dua insan yang berjuang sedang mewujudkan mimpi yang sama, lagi. Dua insan yang kembali berpegang teguh pada satu harapan di bawah guyuran hujan.

Jika mereka tetap bertahan dan berharap pada satu harapan, dua dunia yang tidak bisa bersatu itu mungkin akan tetap bersatu tanpa arah yang buntu.

Tolong doakan kedua manusia kuat ini, doakan kisah mereka tetap abadi. Doakan kemustahilan yang tertanam menjadi keajaiban.

Mereka itu nirmala dan amerta; sempurna dan abadi. Akan selalu seperti itu.