gurlaes

Harien kira ucapan Mario tentang ingin menciumnya hanya perkataan abal-abal belaka. Tapi itu tidak! Mario sudah berada di hadapannya. Menatap dirinya dengan senyuman ngeselin itu seperti tidak berdosa. Satu pertanyaan Harien, “Bagaimana Mario bisa mengetahui keberadaan rumahnya?” Sedangkan selama dirinya diantar pulang oleh Mario, ia hanya memberikan alamat palsu.

“Gue beneran minta ke wali kelas lo,” Ujar Mario seakan menjawab isi pikiran Harien detik ini.

“Serius lo, bangsat?” Harien masih tidak percaya. Mario menghampirinya dalam sekejap. Seperti tidak ada waktu yang menghambat.

“Iya,”

“Terus lo kenapa bisa ada di sini, anjing? Kenapa gak lewat depan rumah gue?”

“Kalo gue masuk dengan sopan kayak cowok lainnya, lo enggak bakal persilahkan gue.” Jawaban Mario mendapat helaan nafas panjang dari Harien.

“Tapi enggak dengan manjat tembok juga, goblok!”

Mario terkekeh pelan. Meski halaman belakang Harien gelap tidak ada pencahayaan yang menyinari mereka, Harien masih bisa melihat jelas tampang rupawan Mario saat terkekeh. Tampan sekali.

Seperkian detik, Mario meringis kesakitan. Harien jelas panik, “Kenapa lo?” Ujarnya kalang kabut sembari mengikis jarak mereka, mendekati Mario.

“Tangan gue kayaknya berdarah. Coba lo liat, deh,” Pinta Mario masih meringis kesakitan.

Harien menarik tangan Mario dengan kasar. Memutar kedua tangan itu untuk melihat keadaannya. Tetapi nihil. Tidak ada goresan sedikit pun di tangan berurat itu.

“Lo bohongin gue?” Ketus Harien.

“Hehe,”

“Anjing lo!” Harien mendorong badan Mario hingga badan besar itu terjatuh ke dalam kolam renang yang cukup dalam.

Mario tidak sebodoh itu. Ia tau jika Harien akan mendorongnya. Dengan siap siaga, tangan kanannya menggapai pinggang Harien lalu menariknya agar ikut terjun bebas ke dalam air dingin itu. Tangannya memeluk badan Harien dengan erat.

Di dalam kolam renang, mereka tidak langsung naik. Mario menahan badan Harien yang hendak naik untuk mengambil nafas. Menyadari dirinya masih dalam pelukan Mario, Harien menatap kedua mata Mario tidak percaya. Ia seakan memberitahukan kepada cowok itu jika dirinya butuh pernapasan lebih.

Mario tidak peduli, ia malah semakin mendekati dirinya pada Harien. Menangkup kepala belakang Harien dengan cepat. Lalu, ia mulai menyatukan bibirnya dengan milik Harien.

Mereka berciuman. Berciuman di dalam air tenang.

Keduanya sedang berciuman sembari melumat di dalam kolam renang yang disinari oleh cahaya remang dari bawah sana. Malam gelap tanpa bintang kelap-kelip dan rembulan bersama cahaya polos indahnya menjadi momen kemesraan keduanya.

Mario dan Harien bertaut bibir lagi untuk kesekian kalinya.

Ini bukan pertama kalinya Harien datang ke warung kecil ini. Namun, kali ini sedikit berbeda. Setiap ia datang, tidak ramai seperti sekarang. Saat ini, warung itu ramai akan anak RJWALI yang katanya ini memang sarang mereka.

Harien yang memang diundang langsung oleh alumni santai saja seperti biasa. Tidak merasa takut akan diusir.

“Lo Harien?” Salah satu cowok dari beberapa yang lainnya menyadari keberadaan Harien.

“Iya, bang,”

“Disuruh Jaya, 'kan?”

“Iya,”

“Oke. Sebentar, ya. Tunggu yang lain pada ngumpul dulu baru gue jelasin kenapa lo disuruh ke sini,”

Harien menangguk, “Iya, santai aja bang.”

Nanda dari jauh menatap keberadaan Harien yang tampak santai. Berbeda dengan anak baru sebelumnya. Harien berbeda dengan kata lain. Nanda tidak menyukainya. Entah apa alasannya. Mungkin hanya dirinya saja yang tahu itu.

“Udah kumpul semuanya, ya?”

“Udah!”

“Di sini gue mau nyampein pesan dari alumni kita. Ada satu siswa yang bakalan masuk ke dalam kelompok kita. Tentang sementara atau menetap itu tergantung kemauan si siswa. Oke, gue langsung panggil aja anaknya,” Bagas menantap Harien. Menyuruhnya untuk berdiri di sampingnya lewat kontak mata mereka.

Harien paham, ia berdiri. Sedikit berdehem guna untuk menghilangan sedikit kecanggungan yang timbul, “Gue Harien. Anak baru di Gajah Mada. Mulai sekarang gue ada di pihak kalian, bukan pihak manapun. Gue selaku siswa Gajah Mada udah lepas tanggung jawab dari sekolah sebelumnya.”

“Tentang penggabungan gue dalam kelompok kalian, gue cuma ngambil waktu sementara. Gue harap kalian terima kehadiran gue sekarang. Thanks.”

Dari informasi yang dipaparkan oleh Harien tadi, ada beberapa yang menatapnya tidak suka. Memang jelas ada pro dan kontra yang harus diterima. Harien mau tidak mau mulai sekarang akan menjalani hidup penuh dengan luka dan penyesalan.

“Kenapa ngeliat gue mulu dah, anying?” Tanya Harien yang akhirnya membuka suara karena risih sedari tadi ditatap oleh Mario.

“Enggak boleh emang?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Risih,”

Mario mengangguk paham. Pandangannya kembali menghadap ke layar kacar itu. Sekarang, mereka sedang duduk berdampingan. Sangat dekat sekali. Seperti buta tuli dengan apa itu jarak.

“Mar,” Bukannya menyaut, Mario malah tertawa pelan mendengar panggilan Harien padanya, “Lo ketawa?”

“Tumbenan banget, nih, ada orang yang manggil gue Mar. Biasanya pada panggil Yo,”

“Ya udah, gue panggil Yo aja,”

“Jangan, biar terasa spesial, khusus lo aja panggil gue Mar.”

“Gila,” Mario tertawa lagi, kali ini cukup keras, “Lo mau ngomong apa tadi?”

“Oh, iya. Tentang tadi pagi. Last email yang lo kirim,”

Mario mendongakkan kepalanya. Tampak berpikir. Sedetik kemudian, ia tersadar, “Iya, iya inget. Kenapa?”

“Maksudnya apa?”

“Ya ... gue suka lo.”

“Serius?”

“Duarius malah,”

“Tapi, kita baru ketemu,”

“Lama waktu emang nentuin kapan perasaan gue udah jatuh ke lo? Enggak, 'kan? Jangan mikir kalo gue cuma main-main. Gue serius sama perkataan gue, Har.”

“Gue suka lo. Dari awal kita ketemu di twitter, gue mulai liat foto profile lo, foto-foto yang pernah lo tweet. Gue liat semuanya.”

Harien menatap Mario tidak percaya. Ia cukup menaruh curiga pada cowok itu yang tiba-tiba saja bilang jika ia menyukai dirinya. Bahkan, mereka baru saja bertemu. Tidak sampai menginjak waktu satu minggu.

Mario sudah gila, pikir Harien.

“Jadi?”

Pertanyaan Mario mengundang kerutan dahi Harien.

“Jawab pertanyaan gue yang tadi pagi.”

“Kasih waktu. Gue baru kenal lo. Bahkan kita belum ada ketemu dua minggu. Lo aja yang kelewat gila.”

Panjang kalimat Harien menghardik sarkas Mario. Sepertinya, mulai sekarang Mario akan membiasakan dirinya dengan ujaran-ujaran kasar dari Harien.

“Iya, gue bakal tunggu.”

“Tapi, Har. Tau gak?”

“Apaan?”

“Bibir gue kering, mungkin sedikit ciuman dari kita bisa buat bibir gue lembab.”

Harien mendelik kaget, “Apaan, anjing?! Lo mabuk?”

“Kagak, lah, bego!” Mario menjitak kepala Harien dengan keras.

Mendengar aduan kesakitan dari Harien, Mario tersenyum. Dengan lancar, tangannya bergerak menarik tengkuk belakang Harien. Mendekatkan wajah itu pada wajahnya. Kedua bibir mereka saling bersentuhan.

Mario memulainya, ia melumat bibir tebal itu. Bak musafir yang mampu melembutkan ciuman kasar mereka.

Lumatan bibir mereka mampu melembutkan rasa kasar yang tercipta dari bibir kering Mario. Tangan kekar Mario mengelus kepala Harien. Ibu jarinya mengusap kepala itu dengan lembut.

Harien hanya diam. Tidak berkutik. Lebih tepatnya, tidak bisa. Badannya kaku, namun pikirannya bekerja sama dengan mulutnya yang sekarang ini sedang beradu lidah dengan kepunyaan Mario.

Game di layar kaca sudah tidak terurus. Dua stick PS dianggurkan begitu saja. Dalam gelap gulita, dua adam ciptaan Tuhan sedang bersenandung lembut dalam lumatan bibir.

Suara teriakan menggema di seluruh wilayah Sekolah. Hanya suara berat anak futsal yang berteriak meramaikan Sekolah yang sepi. Dan beruntungnya, suara bising mereka tidak hingga pada ruang OSIS. Jika itu terjadi, mungkin akan ada perperangan dingin antara anak futsal dan anggota OSIS. Tentu Barata tidak ingin terjadi.

Bagaimana bisa ia berlawan pihak dengan kekasihnya sendiri? Haha, terdengar sangat mustahil.

Barata sibuk membaca proposal-proposal yang telah berada di tangannya. Membaca dari awal berkali-kali. Takut jika ada kesalahan saat sudah di setor kepada Kepala Sekolah. Pekerjaannya akan semakin menumpuk.

“Ta,” Panggil Nava, anak seketaris.

“Kenapa?”

“Semakin hari anak-anak Osis pada bolos semua, Ta. Lo mau gimana?”

Barata menghela nafas berat. Menundukkan kepalanya lelah. Sisa anggota yang berada di ruang besar itu menoleh saling bertatap seakan sedang berbicara dengan batin. Mereka cukup tau jika tugas Barata sekarang sangat berat. Belum lagi posisinya sekarang mempunyai tanggung jawab yang besar.

“Keluarin mereka semua aja. Nanti daftar namanya lo kasih gue,”

Nava melototkan kedua matanya, “Serius lo?”

“Iya,”

“Terus yang megang tugas mereka siapa?” Ijar, anak bendahara ikut bersuara.

“Untuk sementara gue sama wakil yang kerja semuanya.”

Mereka mengangguk serempak. Begitu juga wakil Osis yang duduk di samping Barata. Ia akan siap kapanpun saat Barata membutuhkannya.

“Hari ini selesai, ya. Kalian boleh pulang. Sorry terlalu sore selesainya,”

“Iya, enggak apa-apa, Ta.”

Kini, dalam ruangan besar. Sisa barata sendiri. Ia menyusun barang-barangnya, memasukan benda itu ke dalam tas. Sedikit terburu-buru. Mengingat ia berjanji untuk menemui Nanda di lapangan bawah sana.

Kakinya bergerak lincah menuruni anak tangga. Sampai di lapangan, ia tersenyum saat melihat pacarnya sedang bermain dengan serius. Nanda jika serius seperti ini terlihat sangat tampan. Barata semakin mencintainya.

Tidak ingin mengganggu konsentrasi cowok itu bermain bola, Barata memilih duduk di tangga untuk menonton sembari mengeluarkan ponselnya. Mengecek beberapa pesan yang belum ia lihat.

Suara peluit terakhir terdengar nyaring. Tanda jam futsal telah selesai. Tidak butuh waktu lama Nanda untuk menemukan beruang kecilnya.

“Cielaaah! Di tungguin pacar tuh,” Bagas menyenggol lengan Nanda yang tersenyum.

“Buru sono lo,”

Nanda berlari pelan menghampiri Barata.

“Sayang,” Panggilnya.

“Udah selesai?” Tanya Barata setelah berdiri dari duduknya.

“Udah. Kamu nunggu lama, ya?”

“Enggak. Aku baru aja selesai rapat,”

Nanda tersenyum, masih menatap kedua manik Barata. Senyuman lebar itu terlalu manis. Barata sedikit resah dengannya. Resah jika cowok kesayangannya yang sempurna ini dilirik oleh yang lain.

“Senyum mulu. Itu rambut kamu berantakan,” Oceh Barata.

“Benerin dong, sayang,” Nanda semakin mendekati Barata. Mengikis jarak yang ada di antara mereka berdua. Ia benar-benar menempelkan badannya ke badan Barata.

Selagi Barata merapikan rambutnya yang berantakan dan juga mengelap peluhnya, Nanda memeluk pinggang ramping Barata. memeluknya mesra. Senyuman masih saja terlukis di wajah tampannya.

Bagi siapapun yang melihat posisi mereka saat ini, sebaiknya berpaling muka agar tidak ingin jantungan di umur muda. Demi apapun, mereka terlalu romantis untuk dilihat.

Nanda semakin menarik tubuh Barata agar semakin menempel padanya. Barata tidak risih, ia masih fokus merapikan rambutnya itu.

“Buset, daaaahhhh si Nandaaa,” Seru Lino heboh.

Selesai merapikan rambut kusut itu, Barata berpaling melihat wajah Nanda. Sekejap ia tersadar tangan kekar itu memeluk pinggangnya.

“Nanda anjing, kamu ngapain?”

“Lagi meluk mesra cowok kesayangan aku, nih.”

“Gak lucu, Nan. Banyak orang di sini. Jangan mulai,”

“Biarin aja. Mau kasih liat ke semua yang ada di sini kalo Barata itu hak milik Nanda. Udah itu titik tanpa koma.”

Barata memukul dada bidang Nanda, “Apaan sih? Udah, ah, lepas. Ayok pulang.”

“Iya, iya maap.” Memilih mengalah, Nanda melepas pelukannya.

Barata berjalan mendahului Nanda.

“Intim banget nih, bro?” Goda Sagara.

“Sakit anjing dada gue. Mukulnya udah kayak gorila aja, sumpah.” Seru Nanda dengan wajah meringis kesakitan sembari mengelus dada yang dipukul oleh Barata.

Mereka semua sudah berkumpul di satu meja besar. Suasana cafe kecil ini lumayan ramai. Di tambah ricuh Raka dan Lino yang sedari tadi tidak berhenti merocos. Dua cowok itu jika dipertemukan, dunia terasa semakin ramai.

Barata duduk di samping Nanda. Mereka duduknya berdempetan sekali. Padahal, masih ada sisa kosong di samping keduanya. Awal, Barata duduk sedikit menjauh dari Nanda. Tetapi Nanda kian menarik pinggangnya agar tetap berdempetan.

“Ada yang bawa rokok gak?” Tanya Nanda kepada mereka semua. Ia hanya membawa korek, tidak dengan rokok.

“Lo ada korek tapi gak ada rokok,” Sahut Bagas yang duduk di pojokan, melempar sebungkus rokok berwarna putih dengan logo A di tengahnya.

“Thanks,”

Nanda menyalakan rokoknya. Menghisap ujung batang rokok itu. Hembusan pertama ia keluarkan. Asap putih itu terbang terbawa angin.

Kepalanya menoleh melihat paras Barata dari samping. Melamati wajah kelewat sempurna itu dengan sasakma. Tangannya bergerak mengelus telinga mungil Barata, mulai berjalan menuju lehernya.

“Kenapa?” Barata menyadari Nanda, menoleh menatap balik.

“Gapapa,”

Nanda mengisap rokoknya lagi, sedangkan Barata kembali beralih berbicara bersama Janu yang berada di samping kanannya. Jujur, Nanda sedikit cemburu.

Tidak peduli Barata marah, Nanda menarik pinggang Barata dengan posesif. Lebih menempelkan badannya dengan badan Barata. Tidak hanya sampai di situ. Tangan kekarnya memasuki baju Barata, mengelus perut Barata.

“Ngapain, anjing?” Barata berseru pelan kepada Nanda. Tangannya menahan pergerakan tangan Nanda yang kian naik.

“Dingin,”

“Ya, lo kira perut gue pemanas?”

“Badan kamu pemanas,”

Nanda memeluk Barata dari samping. Badan mereka benar-benar menempel. Sesekali Nanda mencium leher Barata, tidak lupa juga ia menjilat kulit mulus itu.

Barata membatin, “Ini masih di tempat umum, Nanda, bangsat.”

Rokok yang berada di antara kedua jarinya masih tertera. Sesekali ia hisap, setelah menghembuskan asapnya, ia kembali menggelamkan kepalanya di dalam leher hangat Barata.

“Pacarannya kagak tau tempat, ya, bosss,” Seru Lino.

Sagara tertawa, “Udah intim banget itu, tinggal ciuman aja,”

“Paraaaah Sagara,” Maratama menyaut.

Nanda tidak memperdulikan mereka, ia fokus memeluk dunianya dengan erat.

“Nipple kamu kayaknya enak,” Bisik Nanda di telinga Barata, ujung bibirnya naik sedikit menggoda Barata.

“Can you just shut up?”

Nanda terkekeh pelan dengan suara beratnya, “Take it easy, sweetie.”

Nanda menekan tombol bel rumah Barata. Matanya beralih ke garasi kekasihnya itu. tidak ada mobil seperti yang ia lihat kemarin saat mengantar Barata. Mungkin mereka sedang keluar rumah. Sebelum Nanda mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Barata, pintu terbuka. Menampilkan tampak Barata yang terlihat lelah.

“Kenapa?” Pertanyaan pertama Barata selama satu hari ini. Mata sendunya menatap Nanda.

“Kamu kenapa?” Tanya balik Nanda. Sedikit kaget melihat penampilan Barata.

“Aku kenapa?”

Nanda menggapai satu tangan Barata, memasuki rumah itu. Kepalanya bergerak mencari keberadaan manusia di dalam rumah selain cowok yang ada di depannya ini.

“Mama sama Papa kamu mana?”

“Pergi, gak tau kemana.”

“Kapan perginya?”

“Gak tau. Kamu ngapain kesini?”

Bukannya menjawab Barata, Nanda menarik Barata memasuki rumah itu lebih dalam, “Kamar kamu dimana?” Barata menunjuk kamarnya. Nanda membawa Barata memasuki kamar berpintu hitam itu. Sampai di dalam, Nanda menyuruh Barata untuk duduk di kursi belajarnya.

“Kamu kenapa?” Nanda meletakkan tangannya di atas meja, menurunkan sedikit badannya. Menatap kedua manik gelap Barata secara bergantian.

“Aku emang kenapa?”

“Bawah mata kamu item, muka kamu keliatan capek. Kamu habis ngapain?”

“Belajar.”

Satu kata sebagai jawaban Barata menguatkan dugaan Nanda. Jika Barata seperti ini sudah pasti tidak jauh dari 'belajar'

“Semalam aku suruh tidur, kamu gak tidur?” Barata menggeleng.

Nanda mengelus leher Barata, “Pusing gak?”

“Sedikit,”

“Udah makan”

“Udah, makan mie.”

“Pop mie maksud kamu?” Barata mengangguk, melihat tiga bungkus pop mie di atas meja belajarnya.

Nanda menghela nafas, “Ayok tidur,”

“Nanda,”

“Kenapa?”

“Thank you,”

You're trying your best, dan sekarang waktunya kamu istirahat. Ayok tidur, aku peluk kamu.”

Nanda membawa Barata ke tempat tidur besar dengan sprai bergambar beruang lucu. Membaringkan Barata dengan hati-hati. Selanjutnya ia ikut baring di sebelah Barata. Tangannya menjadi tumpuan kepala Barata, satu tangannya memeluk pinggang ramping cowok itu.

“Tidur, jangan mikirin yang lain. Olim kamu besok udah pasti lancar karna kamu udah usaha. Aku tetap di sini sampai kamu tidur nyenyak.”

Barata mendengar ucapan Nanda dalam diam. Ia menghela nafas lega. Pikiran buruk selama semalam ini hilang tanpa tersisa. Nanda menolongnya.

“I Love You.”

“Sayang!” Barata menolehkan kepalanya, melihat Nanda yang memanggilnya dari jauh.

“Kok kamu kesini? Ngapain, bego?” Omel Barata.

“Aku cemburu,” Ujarnya terus terang.

Janu menatap Nanda sedikit kesal.

“Aku cuma jalan sebentar sama Janu,”

“Ya, tetep aja!”

“Kalo mau ribut rumah tangga jangan disini, di rumah aja.” Janu berucap melerai perdebatan mereka. Jika boleh berbicara terus terang ke Barata, ia ingin mengatakan, “Kita jalan berdua doang emang susah, ya, Ta?”

Mereka jalan bertiga. Barata di tengah antara Janu dan Nanda. Sedari tadi tautan genggaman Nanda dan Barata tidak pernah lepas. Janu melihat itu hanya tersenyum kecut, berbicara pada dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa cemburu.

Sesekali mereka mampir membeli minum atau makanan ringan saat melewati toko yang menarik perhatian. Bukan mereka, lebih tepatnya Nanda dan Barata. Janu hanya mengikuti dua cowok itu.

Sebelum Nanda datang, Janu tampak menikmati berjalan berdua bersama Barata. Makan bersama, bercanda bersama. Janu mendambakan momen itu.

“Nu,” Panggil Barata.

Janu menoleh cepat, “Kenapa?”

“Diem mulu, kenapa lo?” Tanya Barata.

“Nyokap gue nyuruh pulang, gue tinggal kalian gapapa,'kan?” Janu bohong, pernyataan itu tidak benar. Ia hanya ingin menjauh dari mereka berdua. Hatinya sedikit sakit saat melihat interaksi mereka.

Nanda dan Barata mengangguk paham.

“Iya, gapapa. Hati-hati, ya,”

“Iya, Ta. Thanks udah nemenin,”

“Santai,”

Janu berjalan meninggalkan mereka berdua. Ia sudah bersyukur bisa bersama Barata meski tidak lama.

“Konyol bener kisah percintaan gue,” Janu tertawa pelan setelah bermonolog sendiri.

“Barata,” Nanda mendekati Barata yang sedang berdiri sendiri di depan pagar Sekolah.

“Ya?” Barata menoleh, menatap Nanda sedikit terkejut dengan kehadiran cowok itu.

“Udah mau dijemput?”

“Belum. Gue belum telpon supir juga,”

“Pulang sama gue mau?”

“Kalo gak kerepotan, ya boleh.”

“Tapi gue kerepotan, nih,”

“Kan tadi lo yang ngajak gue. Gimana sih?” Ujar Barata kesel, tangannya bergerak memukul lengan Nanda. Yang dipukul hanya tersenyum manis. Menggoda Barata itu seru, apa lagi kalau hatinya. “Bercanda.”

Barata mengikuti Nanda berjalan ke arah motor cowok itu terparkir. Masalah sekarang, Nanda hanya mempunyai satu helm. Jika ia pakai, Barata tidak akan memakai helm.

“Helmnya cuma satu, Nan,”

“Iya, tau.”

“Gue gak usah kali ya pake helm?”

“Nanti kecelakaan, gue belum sempat pacaran sama lo.”

Jawaban Nanda membuat Barata bergerak tidak biasa. Jantungnya berdetak cepat. Dengan reflek ia memalingkan wajahnya agar Nanda tidak melihat bagaimana bentuk air mukanya saat ini. Nanda sialan.

“Sebentar, ya?” Barata mengangguk.

Nanda meninggalkan Barata untuk mengambil helm di satu motor hitam yang ia kenal. Itu Motor milik Janu. Setelah mengambil benda pelindung kepala tersebut, ia memberikannya pada Barata.

“Dih! Siapa punya itu? Kok langsung ngambil?”

“Janu punya. Nanti gue bilang aja sama dia. Nih, buru pake,”

Tidak mengidahkan ucapan Nanda, Barata hanya melihat helm itu. Sedikit merasa ragu untuk memakai barang milik orang lain tanpa ijin.

“Lama. Gue pakein, ya?” Nanda meminta ijin terlebih dahulu, kedua matanya menatap Barata.

Barata mengangguk.

Nanda memakaikan helm Janu di kepala Barata. Tidak lupa untuk mengancingkan agar cowok itu tetap selamat.

“Tadi habis putsal, ya?”

“Iya, kok tau?”

“Tadi gue liat sebentar,”

“Kok gak nyapa?”

“Orang gue liatnya Janu, bukan elo,” Barata ketawa.

“Yaaah, sakit hati nih gue, Ta.”

“Dih, apaan sih!”

“Elus dada gue dong, nyeri dada gue,”

“Gak jelas lo dugong!”

Nanda tertawa, tangannya bergerak menarik hidung Barata dengan gemas. Barata yang digituin hanya bisa menahan senyumnya, “Ayok, pulang.”

Nanda tidak menuruti perkataan Barata. Ia benar-benar menunjukkan dirinya di depan gerbang utama. Seolah berkata, gue telat, tolong dihukum. Tapi, alasan kenapa dirinya berada di sini karena Barata.

“Pagi, Barata,” Sapanya, tidak peduli lagi wajah pasrah milik cowok di depannya itu, “Mukanya biasa aja dong.”

“Di bilang jangan lewat depan,”

“Lo sendiri aja, 'kan?”

“Iya, yang lain lagi chek di area tempat sepi,”

“Ya, udah, bagus.” Nanda menggapai tangan Barata, menggenggam erat tangannya . Lalu membawa ketua osis itu pergi keluar dari perkarangan sekolah.

Barata mengerutkan dahinya heran, tapi entah kenapa ia tetap mengikuti langkah kaki Nanda. Matanya bergerak melirik genggaman Nanda di tangannya. Terasa hangat.

“Pernah kesini nggak?” Tanya Nanda setelah sampai di warung kecil.

Barata menggeleng, “Nggak, sejak kapan ada warung ini?”

“Udah lama. Awal gue sekolah disini udah ada warungnya,”

“Lo tau dari mana?”

“Waktu itu gue cuma jalan-jalan ngeliat sekitar doang, terus nemu warung ini. Warungnya sepi padahal makanannya enak enak.”

Barata mengangguk paham. Kepalanya bergerak-gerak melihat apa saja yang ada di dalam warung kecil itu. Rasa penasarannya semakin jadi saat Nanda memberitahu jika makanan di situ enak.

Nanda terkekeh pelan melihat Barata, “Mau coba makanannya?”

“Mau,”

“Tugas lo gimana?”

“Gue ketuanya. Jadi santai aja,” Nanda semakin tertawa mendengarnya, mengusak rambut Barata dengan sekilas.

Nanda memanggil pemilik warung itu untuk memesan makanan mereka, “Bi, sotonya dua, ya? Minumnya es teh aja.”

“Baik, Den. Ditunggu, ya,”

“Iya, Bi.”

Setelahnya, ia menghampiri Barata yang telah duduk terlebih dahulu. Menaruh tas di kursi samping tempat duduknya. Barata masih melihat sekitar, meneliti area luar yang terlihat segar karena dipenuhi dengan tanaman sayur dan bunga-bunga.

“Ngeliat yang lain mulu, sayang nih tukang sedot wc yang tampan dianggurin,”

Barata langsung menolehkan kepalanya menatap Nanda, berdecak pelan, “Lebih tampan gue,”

“Masa?”

“Iya,”

“Tampan apa imut?” Barata terdiam, “Kok diem? Lo sebenernya itu ganteng atau imut?” Tanyanya lagi.

“Ya, ganteng,”

“Tapi kok di mata gue imut, ya? Aneh gak sih?”

Barata menendang kaki Nanda, “Bacot lo!” Nanda tertawa sembari meringis kesakitan.

Tidak lama, pesanan mereka datang. Tanpa bicara lagi, keduanya segera menyantap makanan itu. Sekilas Nanda tersenyum melihat ke arah Barata yang memakan makanannya dengan nikmat.

“Habis ini kembali ke Sekolah?” Tanya Nanda menunda sebentar acara makan mereka.

“Gak mau, tugas osis gue numpuk banget. Males ngerjain,”

“Males ngerjain apa masih mau ketemu gue?”

“Nan,”

“Kenapa?”

“Bisa diem nggak? Lo dari kemaren gombal mulu,”

“Baper?”

“BACOT MONYET!!”

“Apa kamu bilang?” Suara wanita yang dipanggil mama oleh Arka bersuara.

“Marvin pacar aku.” Tegasnya tanpa peduli lagi dengan perasaan wanita di hadapannya itu.

Panggil saja wanita paruh baya itu, Hana.

Hana mendekati Arka, berhenti di hadapan sang anak dengan menampilkan ekspresi yang tidak bisa terbacakan. Antara kecewa, sedih, marah. Semua menjadi satu dalam sebuah emosi.

“Kamu cowok, Arka. COWOK!” Teriak Hana.

Arka yang mendengar teriakan itu tertohok. Satu kata dengan suara keras yang mampu menusuk hatinya. Sebuah fakta yang memang harus ia ketahui.

Arka itu cowok. Gender Arka pria. Sangat tidak resmi untuk berhubung kasih dengan gender yang sama. Tapi, bagaimana jika cinta itu buta akan segala hal?

Dia sudah sangat mencintai Marvin, tidak bisa digugat lagi. Rasa cinta yang timbul itu membuatnya benar-benar buta. Arka tidak lagi bisa melihat ke arah jalan yang lurus.

“Ini tentang perasaan aku, Mah.”

“Sadar, Arka. Kamu itu sekelamin sama dia. Kalian sama-sama cowok.”

“Iya, aku tau kami sama-sama cowok. Tapi ini rasa cinta aku, Mah. Aku lagi jatuh cinta. Jatuh cinta di arah yang salah. Jadi, tolong ... tolong pahami ...”

Arka tidak sanggup berbicara lagi. Hatinya sesak, sesak sekali. Tatapannya sayu menatap ke arah Hana.

“Tidak bisa. Putuskan hubungan kalian. Mama menolak.”

Tidak. Hubungan mereka tidak boleh ada yang menolak, sudah cukup semesta. Cowok itu menatap Hana dengan nalang. Tidak ada rasa putus asa yang terpancarkan dalam pandangannya. Arka masih ingin bertahan, Arka masih ingin berharap lebih.

“Jangan malu-maluin keluarga kita, Arka.”

“Jangan pernah jadi aib keluarga. Jauhi cowok itu demi keluarga kita. Ambil jalan yang benar, Arka. Kamu anak mama sama ayah, jangan berbelok seperti ini.” Kata Hana tanpa tau lagi bagaimana bentuk hati anaknya saat ini.

Arka terdiam seribu bahasa. Kepalanya menunduk, menatap lantai polos itu dengan sayu. Ia harus berbicara apa lagi? Dirinya harus seperti apa lagi agar cinta mereka diterima?

“Arka …” Panggil Abraham, Ayahnya, “Cukup, ya? Kamu hebat, kalian hebat. Tapi, perjuangan kamu sudah cukup sampai disini, nak. Ayok pulang.” Lanjutnya.

Mendengar kalimat itu ditambah suara lembut milik Abraham, Arka menangis. Air matanya berderai. “Gak. Mimpi aku masih belum terwujud.”

Arka berlari keluar dari rumah, meninggalkan kedua orang tuanya disana. Mengabaikan dua hati yang sedang kecewa terhadapnya. Arka ingin menemui Marvin.

Diluar hujan, Arka sedikit merasa tenang. Dengan langkah berat, Arka berjalan keluar dari perkarangan rumahnya. Berharap ada satu insan yang ingin ia temui menunggu di luar.

Dan, benar. Cowok itu disana, sedang menatap dirinya. Seakan tau apa yang terjadi.

Arka berjalan sedikit cepat, mendekati Marvin. Pandangannya menatap Marvin seolah berujar “genggam tangan gue, bawa gue kepelukan lo.”

Rintik gerimis menjadi satu dengan air mata Arka. Di bawah gerimis, mereka berpelukan. Di kala dinginnya malam, mereka saling menautkan jari. Berbagi rasa hangat, mendinginkan hati yang terasa menyengat. Keduanya sedang mengobati luka.

“Gue harus gimana lagi, Marv?” Tanya Arka, hampir putus asa.

Ia kira, kisah mereka itu indah. Namun ternyata, semua hanya mimpi indah yang berkhayal dalam benaknya. Mimpi menjalin kasih yang sempurna.

Perkataan Hana dan Abraham tadi kembali berputar, “Mama sama ayah kecewa. Gue salah, ya, kalo minta kisah kita berakhir bahagia?” Tanya Arka.

Marvin hanya diam, tidak berkutik. Ia hanya tersenyum, menatap dua mata Arka dengan lembut. Mengusap tangan kekasihnya itu dengan sayang.

“Gue percaya kalo ada kisah yang berakhir bahagia, kita bisakan kayak gitu?” Tanya Arka, lagi.

Marvin masih tidak bisa menjawab. Ia hanya mampu memberikan senyuman tulus untuk meyakinkan pertanyaann-pertanyaan Arka.

Banyaknya janji yang mereka buat, tapi sayang, mereka tidak mampu. Rasanya sangat menyakitkan dan melelahkan hanya untuk berjuang dan bertahan. Mereka tidak mampu juga tidak sanggup.

Lelah rasanya.

Takdir yang mempertemukan, namun semesta yang memisahkan.

“Udahan, ya?” Marvin bersuara. Arka menatap terkejut, “Cukup sampai disini, udah banyak yang menolak kita, Ka.”

Arka meninju rahang Marvin, tidak peduli jika cowok itu berdesis kesakitan.

“Jangan ngomong seenaknya, anjing! Jangan bohongi perasaan lo. Kita masih bisa bertahan,” Teriak Arka padanya, “Kita masih belum nyerah. Jadi, tolong, ayok berjuang lagi …” Lirihnya berujar.

“Mau gimana lagi, Ka? Udah gak ada jalan selain menyerah!”

“Lo gak mau buat rumah untuk gue? Lo gak mau berusaha buat keluarga untuk kita?”

Marvin tertawa, “Buat rumah? Udah mustahil gue hidup sama lo. Tapi, satu hal yang harus lo tanam dalam pikiran terdalam. Gue tetap cinta sama lo, gue tetap sayang sama lo. Perasaan gue gak akan pernah berubah sampai kapanpun.”

“Lo tempat terindah bagi gue, lo tempat ternyaman untuk gue berteduh,” Ujar Marvin, “Tapi, kita tetap gak bisa bersama, Ka. Lo sama gue itu sama. Kita satu agama tapi satu gender. Kita gak akan pernah bisa bersama,”

“Kita sesuatu yang mustahil, Arka!” Lanjutnya.

Omongan Marvin sama persis dengan Hana, Arka tersenyum pedih. Hatinya sesak mendengar itu. Mana Marvin yang dulu bilang akan bertahan bersamanya? Mana cowok yang berani bersumpah akan membuatkannya kisah yang indah?

Ini tentang mereka, Saling cinta namun tidak bisa saling memiliki.

Arka terkekeh, ia tidak pernah terbayang jika cerita mereka akan menjadi sepilu ini, semua rangkai waktu yang mereka lalui bersama akan sirna jika mereka berhenti bertahan disini.

Seribu satu cara mereka bertahan dan berjuang hanya untuk mendapatkan jawaban indah dari kisah mereka diakhir. Bila memang ini ujungnya, mau bagaimana lagi? Jikalau mereka berpisah, mungkin Arka akan menjadi kenangan terindah dalam hidup Marvin.

Pada kenyataannya, semesta tidak pernah berpihak pada mereka.

“Terus kalo kita segender emang kenapa? Lo mau berhenti sekarang?” Arka semakin mendekati Marvin, menatap cowok itu dengan marah.

Marvin menunduk, “Maaf,”

Gerimis hujan semakin terasa deras. Rambut juga baju mereka telah kuyup.

Marvin memeluk Arka erat, sangat erat. Tangan kekarnya ia bawa untuk mendorong kepala Arka agar bersender pada bahu kokohnya.

“Sayang gue ke lo itu abadi. Maaf gue udah menolak hubungan kita,”

“Dari sini gue gak tau akan diberi berapa lama waktu lagi sama semesta. Jadi, ayok hargai kebersamaan kita dalam tiap detik, ya?” Ucap Marvin pada akhirnya.

Dua insan yang berjuang sedang mewujudkan mimpi yang sama, lagi. Dua insan yang kembali berpegang teguh pada satu harapan di bawah guyuran hujan.

Jika mereka tetap bertahan dan berharap pada satu harapan, dua dunia yang tidak bisa bersatu itu mungkin akan tetap bersatu tanpa arah yang buntu.

Tolong doakan kepada dua manusia kuat ini, doakan kisah mereka tetap abadi. Doakan kemustahilan yang tertanam menjadi keajaiban.

Mereka bagaikan nirmala dan amerta; sempurna dan abadi.

Akan selalu seperti itu.