gurlaes

Dia Alergi

“Kamu suka kan?” Tanya Evan begitu duduk rapi di kursi meja makan menghadap Hesa.

“Iya, suka.”

Evan tersenyum. “Ya, udah. Kasih habis, ya.”

Melihat senyuman senang Evan membuat Hesa tidak tega untuk menolak. Ini pertama kalinya ia melihat Evan tersenyum lebar semenjak bersama dirinya.

Dengan ragu Hesa memasukan makanan itu ke dalam mulutnya. Berusaha mengabaikan rasa takutnya pada makanan terkutuk itu.

Pandangan matanya bergerak ke depan. Melihat bagaimana Evan dengan lahap memakan makanannya.

“Suka banget, ya?” Tanya Hesa.

“Banget! Aku kalo jalan berdua sama abang kamu selalu mampir makan ini. Abang kamu juga suka.” Cerita Evan dengan keantusiasannya. “Kamu suka juga kan?”

Hesa tersenyum, “Suka, dong. Ini aku makan lahap. Masakan kamu enak.”

“Hehe, makasih, Hesa.”

Jantung Hesa berdetak cepat dari biasanya. Badannya merinding dalam sekejap. Hesa sudah pernah merasakan ini. Tapi tetap saja ia tidak tahan dengan rasa panas di tubuhnya juga rasa sakitnya kepala.

Tangan sebelahnya yang awal mula berada di atas meja makan bergerak lemas ke bawah. Bertumpu di atas pahanya. Dengan menahan sakit Hesa meremas celana hitamnya itu.

Nafasnya sedikit terasa memburu. Namun sebisa mungkin untuk ia sembunyikan itu semua. Ia tidak ingin senyuman indah bagai lukisan itu luntur begitu saja hanya karena dirinya.

Hesa juga ingin membuat Evan senang seperti ini. Hesa ingin Evan seperti saat bersama Heza, abangnya.

“Siniin piringnya. Biar aku cuci.” Evan berdiri dari duduknya setelah mereka berdua selesai menghabiskan makanan itu.

Hesa memberikan piringnya kepada Evan. Setelah Evan pergi sedikit menjauh untuk mencuci piring, jantung Hesa semakin berdetak cepat. Kulit tangannya memerah.

Hesa berdiri, menghampiri Evan. Memeluk pacarnya yang berbadan kecil itu dari belakang. Menumpukan kepala lemasnya di atas bahu kokoh Evan. Tangannya melingkar di perut Evan.

“Bay,”

“Iya?”

“Aku pamit pulang, ya? Nevan minta temenin ke bengkel. Bengkel bokapnya lagi sibuk, jadi aku bantu-bantu di sana.”

“Sekarang?”

“Iya, bay. Gapapa kan? Kalo kamu mau aku masih di sini gapapa. Aku bilang aja ke Nevan.”

“Enggak usah. Kamu pergi aja. Siapa tau dia lagi butuh kamu banget.”

Hesa mendekatkan kepalanya ke leher Evan, “Kamu enggak marah kan?”

“Enggak, sayang. Habis ini aku mau tidur jugaaa.”

Hesa tersenyum tipis di belakang sana. Bibirnya mengecup leher mulus Evan, “Ya, udah. Aku pergi, ya. Kamu tidur nyenyak. Nanti kalo enggak bisa tidur telpon aja.”

“Iyaaaa. Hati-hati, esa.”

Hesa bohong. Nevan tidak ada menyuruhnya ke bengkel. Ia sudah benar-benar tidak tahan dengan badannya itu.

Setelah berhasil keluar dari rumah Evan, Hesa berjalan gontai. Sesekali berhenti untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir saja jatuh.

Dengan perlahan ia berjalan ke motor miliknya di depan sana.

“Sa,”

Itu Nevan. Cowok itu berdiri sedikit bersandar pada motor milik Hesa dengan tangan yang terlipat di depan dada bidangnya.

“Pan? Itu elo ato gue yang berhalusinasi kayak orang gila begini?”

“Iya, ini gue.”

“Ngapain lo ke sini?”

Nevan menghela nafas. Ia sudah menunggu di depan rumah Evan semenjak Hesa memberitahu jika sahabat karibnya itu hendak memakan makanan terkutuk. Takut terjadi hal yang tidak ia inginkan. Tentu ia tidak tenang dengan pikirannya.

“Lo mau bawa motor kayak gitu? Yang ada belum jalan lo udah jato cium aspal panas.”

Hesa tersenyum. Evan mendekatinya. membantu menopang tubuh Hesa agar bisa berjalan ke arah motor.

“Lo ke sini naik apa, Pan?”

“Gojek. Ini lo gue bonceng pake motor lo. Kalo lo udah enggak tahan bilang ya, anjing.”

“Iya, anying. Makasih.”

“Ya, sama-sama. Tapi lo tetep tolol.”

“Tai.”

“Mau ngapain ke sini?”

Cara bicara Harien berbeda dari yang dulu. Raja dapat menyadarinya.

“Gue mau minta maaf sama lo, Har,” Ujar Raja langsung tanpa memerlukan basa basi lagi yang dapat ia tebak akan membuat Harien semakin muak dengan dirinya.

“Gue udah maafin lo dari dulu, Ja. Tapi gue masih marah sama lo, gue kecewa sama lo yang nyakitin gue pake cara begitu.”

“Maaf,”

Harien menghela nafas kasar, berusaha menetralkan emosinya. “Kenapa dulu lo ngejual gue?”

Raja diam, tidak berani menjawab. Bahkan menengadahkan kepala untuk menatap lawan bicara saja ia tidak mampu.

“Jawab, anjing. Kenapa lo jual gue ke kakel kita dulu? Lo pacaran sama gue cuma karna uang kan?”

“Enggak, bangsat. Gue beneran sayang sama lo, Har.” Raja berseru sedikit membentak Harien. “Lo gue jual karna nyawa nyokap gue ada di tangan mereka. Mereka bilang kalo gue enggak serahin lo ke tangan mereka, biaya perawatan nyokap dilepas.”

Raja melampiaskan rasa amarah pada rambutnya yang semula rapi tertata sekarang sudah teracak tidak berbentuk.

“Gue bisa bantu lo, Raja. Lo enggak perlu jual diri gue ke mereka. Lo masih punya gue.”

“Gue malu. Gue selalu kepikiran orang-orang yang ngomongin gue miskin, raja si enggak punya uang. Selama di samping lo, gue direndahin sama mereka. Gue malu, Har.”

“Lo bisa ceritain itu semua ke gue. Lagian ngapain lo dengerin mereka. Lo masih punya gue, lo enggak perlu malu berdiri di samping gue.”

“Maaf,”

atmosfer yang tadinya terasa mencekam kembali normal. Mereka berdua bersama melarutkan rasa emosi yang membara. Suara sahut-sahutan yang menegangkan tadi sudah diganti dengan lirihan lemah Raja yang meminta pelukan pada Harien.

Harien menerimanya. Harien memeluk Raja. Memeluk cowok itu dengan erat. Ia tau ini bukan sepenuhnya salah Raja. Raja di ambang pilihan yang membuat ia bingung untuk memilih.

Kepala Raja terjatuh di pundak Harien. Dan Harien mengelus kepala belakang Raja dengan lembut. Gumaman kata maaf terus dituturkan oleh Raja dengan suara pelannya.

“Gue udah maafin lo, Ja. Tapi tetep, Mario tetep jadi pengganti lo.”

Pelukan semakin mengerat.

Saking asiknnya bertukar pesan dengan Rendro-teman satu-satunya sedari SMP, Harien tidak menyadari adanya sedikit keributan kecil di bawah. Suara lembut milik sang Bunda yang dipadukan dengan suara berat seorang lelaki.

Jika Bunda tidak meneriaki namanya, Harien tidak akan beralih dari ponselnya itu. “Iya, Bunda, sebentar.”

“Kamu tunggu sebentar, ya, nak. Emang gitu anaknya. Kalau udah di ajak jalan, persiapannya lama.” Bunda berterus terang dengan Mario.

“Iya, enggak apa-apa, Bunda.” Mario tersenyum. Sekitar dua menit yang lalu Mario sudah sampai setelah membuat perjanjian jika ia akan mengajak sang kekasih jalan layaknya kegiatan yang sering dilakukan oleh orang pacaran pada umumnya.

“Ini, minum dulu sebentar teh angetnya,” “Iya, Bunda, makasih.”

Perut Mario terasa hangat setelah minum seteguk teh hangat buatan Bunda. Asik Mario dengan teh enak itu, Bunda Harien mulai membuka suara lagi. Menceritakan kelakuan Harien semasa SMP dulu.

“Dulu, waktu Harien masih SMP, anaknya tengil. Guru-guru di Sekolah aja nyebut Harien itu siswa tengil. Bunda dulu sampai hafal siapa-siapa aja nama guru bimbingan konseling di Sekolah Harien,”

Mario mulai masuk ke dalam cerita Bunda, “Kenapa, Bun?”

“Bunda sering sekali dipanggil ke Sekolah karna kenakalan Harien. Sampai sekarang Bunda masih heran kenapa anak tunggal Bunda itu nakal sekali. Mungkin tingkat kenakalannya melebihi nakal Leonardo waktu masih muda.” Bunda juga Mario tertawa kecil bersamaan.

“Kasus terakhir yang buat Harien dikeluarkan itu, dia ada bentrokan sama Sekolah lain. Bunda enggak marah dia ikut tawuran kayak begitu, tapi Bunda cuma takut aja kalau anak Bunda satu-satunya itu pergi jauh.”

Mario serius mendengar tuturan Bunda, teh yang tadi hangat saat disajikan telah menjadi dingin. Fokusnya hanya pada cerita panjang yang diceritakan oleh Bunda. Nakalnya dulu Harien bagaimana, kelakuan Harien semasa remaja awal dulu Bagaimana.

Bunda berbagi banyak cerita dengan Mario. Terakhir, wanita paruh baya itu menunjukan secarik kertas yang tertuliskan data kriminal milik Harien. Mario tentu terkejut, pacarnya juga mempunyai hal yang sama dengan dirinya.

“Ini kasus-kasus yang pernah Harien dapatin. Selain ini, anak itu masih banyak kasusnya, tapi enggak tertangkap polisi aja.”

“Ini kapan aja, Bunda?” “Awal mulai masuk SMP.”

Suara ribut dari atas hingga berjalan di tangga terdengar. Mario dan Bunda menolehkan arah pandangan mereka ke sumber suara berisik itu. Mereka lihat Harien dengan wajah panik menuruni tangga. Mario menundukkan kepalanya guna meredam suara tawa setelah melihat ekspresi konyol dari Harien.

“Kamu kebiasaan, Harien. Kasian pacar kamu nungguin dari tadi.” Bunda berdiri dari duduknya, menghampiri Harien yang tersenyum kaku mengakui kesalahannya. Bunda menjewer pelan telinga mungil Harien. “Udah sana pacaran.”

Harien memanyunkan bibirnya sedikit. Tangannya bergerak menyalimi tangan lembut milik Bunda, “Iya, Bunda. Aku pergi dulu.” Mario ikut bersalim tangan dengan Bunda. Pamit sekaligus meminta izin untuk membawa Harien pergi sebentar.

“Kalau enggak pulang ke Rumah kabarin Bunda, ya, Harien,” “Iya, Bunda.”

“Bunda cerita apa aja sama lo?” Tanya Harien begitu pintu rumah tertutup rapat.

“Kepo,” Seru Mario seraya menoyor jidat Harien pelan yang membuat sang empu berdecak kesal.

“Bunda enggak ngomong macem-macem kan?”

“Macem-macem gimana? Coba kasih satu contoh,”

“Apaan, dih. Dikira pelajaran Indonesia pake contoh-contoh segala.”

“Ya, udah. Enggak usah kepo makannya.”

Mario memakaikan Harien helm tanpa lagi meminta persetujuan dari cowok di hadapannya itu. Tidak lupa ia mengancingkan helmnya. Sedikit jail, Mario menepuk bagian atas helm yang membuat Harien berdecak kesal lagi.

“Lo pake apa? Ini kan helm lo punya,”

“Lo ada helm lagi enggak?”

Harien menggeleng kecil dengan alis terangkat sedikit. Harien dengan helm besar ini membuatnya sedikit terlihat kecil.

“Ya, udah, pake punya gue aja.”

“Lo enggak pake, dong?”

“Yang penting lo selamat di jalan, Har.”


“Mar!” Seru Harien memanggil dengan suara tinggi berusaha melawan suara angin dan kendaraan yang bising.

“Kenapa, yang?”

“Kita beneran pacaran di pasar?”

“Iya, biar ada temen cari ikan.”

Begitu Mario datang di tempat futsal umum, pandangan tidak mengenakan didapatin oleh dirinya. Di mana Harien yang menghajar Nanda habis-habisan. Bahkan Nanda tidak mendapatkan celah untuk membalas perbuatan kasar Harien.

“Harien!” Teriak Mario seraya melerai mereka berdua. “Kalian kenapa, bangsat?”

“Bangun lo, anjing! Jangan sok lemah!” Harien memberontak dari genggaman Mario yang menahan dirinya.

Nanda berdiri, membenarkan baju kusutnya. Matanya menatap malas Mario yang datang tidak diundang.

“Kalian kenapa?” Tanya Mario sekali lagi.

“Tanya sendiri sama temen palsu lo,” Seru Harien masih menatap tajam Nanda. Tangannya terkepal kuat menahan emosi.

Pandangan Mario beralih ke Nanda. Meminta penjelasan dari maksud ini semua.

“Gue yang bilang lo jualan narkoba.” Dahi Mario berkerut.

“Gue yang fitnah lo. Harien tau karna habis ngancem admin base.”

“Kenapa?” Tanya Mario masih tidak percaya.

“Mikir sendiri.” Setelah dua kata itu terucap, Nanda pergi menjauh dari Harien dan Mario. Tatapannya masih terlihat tidak suka dengan kehadiran Mario.

“Obatin luka lo, Nalanda.” Kata Mario tidak lupa.

“Bantu susun barangnya,” Harien menyuruh mereka bertiga. Tapi tidak ada yang merespon. Mereka semua justru berlari menjauhi Harien.

“Bangsat bener, enggak ada yang berguna taii,” Seru Harien kesal. Matanya menatap malas mereka bertiga yang telah duduk rapi di sofa.

Mau tidak mau dengan hati dingin Harien menyusun barang belanjaan yang dibelinya tadi. Setelah tersusun rapi sesuai tempat, Harien berpikir sedikit tentang masakan apa yang akan ia masak untuk makan malam nanti.

“Kalian mau makan apa nanti malam?”

“Apa aja, Har,” Sahut Mario, yang lain hanya mengangguk menyetujui jawaban Mario.

“Capcay udang sama ayam mau?”

“Iya, sayang,”

Mario memukul dada Nanda sedikit keras, “Pacar gue bego! Main sayang-sayang aja lo.”

“Ya, maaf. Siapa tau kalian besok putus, jadi gue siap siaga yang gantiin posisi lo,”

“Mulut looooo,” Mario memukul mulut Nanda.

Selagi Harien sibuk memasak makanan untuk jam siang, ketiga cowok di sana fokus dengan permainan di layar kaca itu. Tidak sekali dua kali omongan kasar tidak terdidik keluar dari mulut. Harien sudah biasa dengan omongan kasar mereka, bahkan kata kemaluan pria juga mereka sebutkan tanpa permisi. Ia sudah terbiasa dengan itu semua selama ia join dalam discord mereka.

Waktu demi waktu mereka semua lewati bersama. Tidak terasa sudah malam hari. Sesuai kemauan Harien, Raja dengan Nanda tidur berdua di ruang tengah. Sedang Mario ikut bersama Harien di dalam kamar.

“Gue ikut di kamar dong, Har,” Ucap Nanda dengan nada yang dibuat-buat.

“Kaga. Lo dua di situ aja,”

“ya udah iya di sini,”

Mario tersenyum manis mengikuti Harien masuk ke dalam kamar. Mereka benar-benar tidur bersama di atas kasur yang sama. Harien tidak melarang Mario jika cowok itu bersikap lebih. Mario tentu sedikit heran, tapi ia cukup sadar dengan batasannya.

“Udah ngantuk?” Tanya Mario sedikit berbisik.

“Udah,”

“Bisa tidur enggak?”

“Enggak,” Mario terkekeh. Dikecupnya dahi Harien sebelum tangan kekar hangatnya itu bergerak mengelus surai lembut milik Harien.

Elusan demi elusan menghanyutkan pikiran Harien, perlahan matanya terpejam, suara teratur yang tenang menerobos pendengaran Mario. Pacarnya sudah tidur.

Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar yang dibuka perlahan. Cahaya dari luar sana masuk ke dalam.

“Mar?” Suara bisikan Nanda terdengar.

“Kenapa?”

“Harien udah tidur?”

“Udah,”

Dahi Mario bergerak bingung, Nanda dengan Raja masuk perlahan mendekati kasur Harien.

“Mau tidur di sini, lo diem aja,” Belum Mario protes, Nanda udah menaikan bantalnya ke atas kasur. Menggeser Mario agar sedikit jauhan.

“Sempit bego, Nan,”

“Kaga,”

Raja ikutan, ia ingin tidur di sebelah Harien. Belum sempat Raja menaiki kasur, Mario dengan cepat menahan badan Raja dengan kakinya, “Lo tidur di situ gue gebuk.”

Raja berdecak malas, terpaksa ia tidur di samping Nanda yang telah tertidur nyenyak entah kapan. Suara dengkurannya terdengar nyaring melebihi milik Harien.

Mereka berempat tidur bersama di atas kasur yang lumayan berukuran besar itu. Demi tidur sekasur dengan Harien, Nanda dan Raja rela bersempit seperti ini. Jujur saja sekarang wajah Mario sedang tidak bersahabat. Ia awalnya ingin berduaan saja dengan Harien di kala malam ini.

Candaan Mario dengan yang lain terhenti saat Kristal menyenggol lengannya, “Woi, Mar. Harien tuh,” Mario menolehkan pandangannya menatap arah tatapan Kristal.

“Lo duduk sono, Tal,” Ujar Mario mengusir Kristal.

“Sialan,” Mau tidak mau Kristal menjauh darinya. Duduk di samping Gilang yang sedang fokus dengan game di ponselnya.

Harien dengan wajah penuh luka langsung duduk di samping Mario. Wajah lukanya terlihat masam. Batinnya sudah lelah dengan kemauan Mario yang ingin menciumnya. Mereka memang sudah sering melakukan pergaulan bebas itu, tapi tetap saja terlalu canggung untuk melakukannya lagi.

“Udah diobatin lukanya?”

“Belum,”

“Kok belum?”

“Enggak bisa obatin,”

Mario mengubah posisi duduknya menjadi serong kiri agar bisa melihat wajah Harien sepenuhnya, “Mau gue obatin?”

“Emang lo bisa?” Tanya Harien ragu, tidak meyakinkan untuk Mario yang bisa mengobati luka orang.

“Pake bibir, mau?”

Jangan pake tanya, Mario sialan. Jelas gue mau. “Enggak!”

“Tapi gue mau,”

Mario menangkup wajah kecil milik Harien. Mencium pelan luka-luka yang telah dibuatnya tadi. Mengecup luka itu dengan lembut agar sang pemilik luka terasa nyaman.

Tangan Harien menahan dada Mario agar cowok itu memberhentikan kegiatannya. Ini masih di tempat umum. Harien malu.

“Bang ...” Panggil Harien pelan.

“Hm?” Sahutnya dengan suara berat.

“Udah, anjing. Gue malu diliat temen-temen lo,”

“Ya, udah. Kalau gitu biasakan mulai sekarang. Nanti kita sering ciuman di tempat umum kayak gini,”

Kecupan Mario perlahan menjalar ke bibir Harien. Melumat bibir tebal itu seperti ingin memakannya. Dengan terpaksa Harien membalasnya. Melumat balik bibir tipis Mario.

Mario menciumnya dengan tangan yang mulai berjalan ke arah lain. Mario semakin dalam menciumnya, bertarung lidah seakan ia memberitahu Harien jika ini semua miliknya.

Harien memejamkan matanya. Bibir mereka bertabrakan.

Mario melepas lumatan mereka, tersenyum tipis saat melihat wajah merah Harien.

“Lo pencium yang handal, Harien.”

Harien menatap Mario. Tidak berbicara apapun. Hanya menatap wajah tampan dengan bibir basah itu.

“Kalau kegiatan ini kesalahan, gue siap jadi pendosa,” Ujar Mario.

“Hai?” Sapa Mario dengan tambahan senyum tampannya yang sudah biasa dilihat Harien tapi masih mampu membuatnya jatuh cinta, lagi.

“Ya. Masuk aja sini, ada nyokap kok,” Suruh Harien, masih sedikit menormalkan degupan jantungnya.

“Enggak. Gue cuma sebentar aja. Mau kasih ini sama seutas kalimat yang udah gue buat di kamar mandi tadi subuh,” Ujar Mario sembari menaikan sedikit tangannya untuk memperlihatkan keresek putih berisi sebungkus roti bakar bandung yang dia beli tadi.

Harien mengernyitkan dahinya bingung. Alisnya nyaris menjadi satu setelah mendengar ujaran Mario yang membuatnya kehilangan akal, “Hah?”

“Nih, ambil dulu,” Mario memberikan keresek itu pada Harien. Setelah diterimanya, Mario kembali melanjutkan kata yang ia bilang seutas kalimat yang sudah dibuat di kamar mandi itu.

“Roti bakar bandung yang gue beli ini jadi saksi kalau kita mulai pacaran.”

Itu, seutas kalimat yang dimaksudnya. Membingungkan namun mampu membuat Harien berdiri kaku dengan menenteng tas keresek putih tadi yang diberikan.

“Gue pulang dulu, ya? Udah mau maghrib. Titip salam buat bunda lo, ya. Kalau ditanya dari siapa, bilang aja dari pacar baru, bun. Anaknya cakep, hobi berantem, tapi baik.” Ucapnya.

Lalu tangan kanannya terjulur ke depan badan Harien.

“Buat apa?”

“Buat bukti kalau sore ini kita udah satu hati.”

Batin Harien berteriak, bangsat! Tapi ia tetap menggapai tangan Mario untuk berjabat tangan. Mario menggenggam tangannya erat dan ibu jari itu mengelus punggung tangannya sembari tatapan elang itu menatap dirinya dengan tulus.

“Udah jabatannya. Kasian nanti gue,”

“Kenapa kasian?”

“Ya, kasian, lah. Mana tahan gue genggaman tangan mulu sama pacar. Yang ada hati gue tukeran tempat sama otak.”

“Anjing lo.”

Mario tertawa pelan. Pelan tapi meleburkan hati Harien.

“Udah, ah. Enggak pulang-pulang gue. Nanti kalau ditanya sama bunda gue kenapa telat pulang, mau tau enggak gue jawab apa?”

Harien yang masih heran hanya menjawab Mario sekadarnya aja, “Apa?”

“Maaf, bun. Tadi keasikan liatin pacar baru. Jadi telat, deh pulangnya,”

“Bang,” Panggil Harien.

“Kenapa?”

“Lo jadi pulang apa enggak?”

“Iya-iya ini beneran. Dimakan, ya, roti bakar bandungnya. Gue pulang sekarang. Love you, Bear.” Pamit Mario setelah mengusak rambut milik Harien.

Sore itu, seutas kalimat telah terlontarkan dan sebungkus roti bakar bandung telah diterima.

Yang berarti, Harien sudah menjadi milik Mario sepenuhnya.

Harien masih tidak habis pikir jika awal semasa sekolah di tempat baru akan menjadi seburuk ini. Ia pindah karena ingin sedikit berubah. Tapi tetap saja. Ia tetap terlibat pergaulan buruk seperti ini. Jika dirinya terseret bimbingan konseling, sudah dipastikan ia akan membawa nama Mario. Tidak mau tau!

“Sayang,” Panggil Mario dari jauh setelah beradu tatap dengan manik Harien.

Hanya suara decakan dan putaran bola mata malas yang membalas sapaan pagi Mario.

“Jawab, dong. Sombong amat jadi cowok. Untung cakep,”

“Iya, gue emang cakep. Makasih,”

“Enggak usah makasih. Pacar gue emang selalu cakep tanpa perlu diingatkan.”

Harien menendang tulang kering Mario dengan tenaga dalam, “Gue bukan pacar lu.”

“Iya, habis ini kita pacaran.”

Suara teriakan bergemuruh menghambat balasan Harien pada Mario. Mereka semua memusatkan pandangan pada segerombolan siswa di sana yang datang tidak dengan tangan kosong.

Harien mengernyitkan dahinya. Mereka terlalu pengecut hanya untuk berduel tangan.

“Kalau kalian udah mulai dengar suara sirene polisi atau apapun itu, langsung mundur. Redakan emosi kalian,” Mario berujar serius. Wajah tegasnya sangat berbeda dari keseharian yang Harien liat. Mario sisi ini tampak lebih .... sempurna.

RJWALI mulai bergerak. Mengenggam senjata mereka dengan erat seakan tidak akan terlepas lagi. Mario dan Harien bergerak paling akhir. Mereka diam, Mario tidak bercanda lagi seperti tadi.

“Mar?”

“Hm?”

“Fuck,” Jangan suara itu, Mar. Tolong ingat, satu pemuda ini masih denial dengan rasanya sendiri.

“Kenapa, Har?”

“Lo enggak bawa senjata?”

“Enggak,”

“Kenapa?”

“Lo. Lo enggak bawa senjata. Jadi gue juga enggak bawa. Tapi lo tetap di samping gue, ya?” Mario menatap khawatir Harien.

Tidak bisa berbuat banyak, Harien hanya menganggukkan kepalanya.

“Gue cuma enggak mau lo luka sedikitpun biar luka kecil. Biarkan gue ngelindungi lo untuk yang pertama kalinya, Harien.”

Mario sialan. Pemuda yang denial tadi sekarang tidak lagi. Rasa kosong sekarang mulai tergantikan dengan warna rona merana yang berada di sekeliling hatinya. Harien jatuh, pada Mario Putra Adente.


Baju Harien sudah kusut. Penuh dengan darah. Ia berhasil melumpuhkan beberapa siswa dari sekolah Nusantara.

Suara sirene berbunyi. Cukup lama suara yang dinantikan Harien itu berbunyi. Dengan terburu-buru, mereka semua bubar. Tidak menyisakan apapun selain darah di atas aspal.

Murid dari sekolah Gajah Mada keluar dari kelas melihat pergelutan panas di depan sekolah mereka. Juga guru-guru yang sibuk sekaligus panik saat melihat baju dengan logo Gajah Mada terpampang jelas di sana yang sedang tauran.

RJWALI kembali dengan lengkap.

Air muka Mario tampak panik setelah menemukan Harien dengan noda darah di baju kaos putihnya.

“Lo kena? Bagian mananya? Anjinglah! Goblok banget gue, bangsat!” Seru Mario panik dan menyalakan dirinya sendiri.

Chill, Mar. Ini bukan darah gue,” Ucap Harien menenangkan Mario.

Masih dengan kepanikannya, Mario menggapai kedua tangan Harien. menggenggamnya dengan erat, “Bener?” Tanyanya mendapat anggukan dari Harien.

Mario menghela nafas. Dengan cekat ia memeluk tubuh Harien. Mengelus punggung cowok itu dengan pelan. Degup jantungnya masih berpacu cepat setelah melihat darah di kaos Harien tadi.

“Makasih,” Bisik Harien tepat di samping telinga Mario. Makasih udah buat gue jatuh, Mar.

Barata dengan terburu-buru menghampiri Lino yang sedang kewalahan menyuruh kedua cowok itu berhenti untuk bermain bola. Barata juga tidak habis pikir. Bagaimana bisa mereka bermain selama itu. Ia cukup terkaget setelah membaca last tweet dari Lino.

Tapi, kedatangan Barata di sini sekarang hanya untuk Janu. Bukan Nanda.

“Dateng juga. Tolong bawa Nanda, ya? Biar Janu gue yang urus,” Ujar Lino begitu melihat Barata.

“Janu gue aja yang bawa,” Seru Barata menahan tangan Lino yang hendak membawa Janu.

Nanda menatap Barata tidak percaya, “Ta?” Lirihnya dengan nada pelan.

“Ayok, Nu,” Barata mengangkat lengan Janu agar cowok itu berdiri dan menggandeng tangannya erat. Sekejap, matanya beradu tatap dengan Nanda, “Jangan kekanakan, Nanda.”

Janu tau mereka berdua masih berada di dalam area emosi. Janu tidak bisa berbuat apa-apa. Menolak ajakan Barata juga untuk apa? Jelas ia senang. Barata orang yang dia sukai, mengapa harus ia tolak ajakannya?

Lino yang melihat adegan drama itu hanya menghela napas berat. Tidak tega juga melihat Nanda yang ditolak seperti itu.

“Udah enggak usah sedih lo, badrol! Buru bangun gue anter pulang sebelum gue te-

Belum sempat Lino mengakhiri ucapannya, Nanda sudah berbalik pulang meninggalkan Lino sendiri di lapangan dengan dua bola futsal yang terlihat usang.

“Ya Tuhan, mereka kenapa, sih?”

fdfdfds